SOAL MATEMATIKA YANG MENGURAS PELUH
PUJANG
Semburat jingga pecah di langit
timur, matahari mulai muncul di balik garis horizon. Ombak di lautan masih
dahsyat menghantam karang dan tebing-tebing di perbatasan laut dan darat.
Setinggi empat meter bergulung-gulung tinggi menyisiri ke tepian pantai.
Ayam jantan berkokok tiada
henti-hentinya, saling bersahutan, seolah-olah mengikuti perlombaan suara
paling merdu. Dan warga di kampung pesisir sudah bergeliat. Dimas sudah memakai
seragamnya, duduk manis di depan meja makan menunggu sarapan sambil membaca
buku pelajaran.
Di dapur asap mengepul tebal,
Ibu Dimas menggorengkan telur ceplok untuk keluarga tercintanya. Sedangkan
Bapak Dimas menyiapkan jalan, memeriksa, dan memperbaiki bagian-bagian jala
yang rusak.
“PR koe sudah dikerjakan,
Dimas?” tanya ibu dari dapur.
“Udah, Buk,” sahut Dimas.
“Bagaimana belajarnya, ada yang
sulit nggak?” tanya Ibu Dimas lagi.
“Cuma matematika, Buk. Dimas
sulit menjawab soalnya.”
“Yowess, nanti ibu ajari lagi.
Koe juga di kelas perhatikan Ibu Yanu mengajar, kalau nggak tahu ditanya. Kalau
nggat paham juga ditanya lagi, sampai betul-betul paham,” Ibu Dimas meletakkan
nasi hangat dan lauk di atas meja, “belajar matematika itu, Le, diulang-ulang.
Kalau sudah paham satu soal, cari lagi soal yang berbeda. Nah, pelajaran lain
juga nggak jauh berbeda. Semua pelajaran itu diulang-ulang, Le, biar nempel di
kepala.”
Dimas menganggukkan kepalanya,
“Inggih, Buk!”
“Pak, sarapannya sudah siap,”
Ibu Dimas memanggil suaminya.
Dimas tampak lahap sarapan telur
ceplok pakai kecap manis. Begitu juga bapak dan ibunya di suasana pagi itu.
“Bapak melaut hari ini?” tanya
Ibu Dimas.
“Ya iya lah, Buk. Masa nggak
melaut, memangnya kenapa?”
“Ibuk dengar ombak sekarang lagi
tinggi.”
“Oh, iya… ombak di sore hari
yang tinggi, Buk. Pagi dan siang nggak terlalu. Bapak dan konco-konco yang lain
tengah hari juga udah pulang,” kata bapak Dimas menenangkan hati istrinya.
Kemudian dilirik anaknya, “Le, kapan koe besarnya, biar ikut bapak melaut!”
Bapak Dimas tersenyum mencandai putranya.
Dimas tertawa kecil, “Dimas
sekarang juga udah besar, Pak.”
“Sarapan yang banyak biar cepat
besar koe,” Bapak Dimas ikut tertawa kecil, disusul ibunya.
“Assalamualaikum,” suara bocah
memberi salam dari depan rumah.
“Konco koe, Pujang!” kata Bapak
Dimas.
Dimas yang sudah selesai
sarapannya, memasukkan buku ke dalam tas. Lalu pamit mencium tangan kedua
orangtuanya. Bergegas mengeluarkan sepeda dari dapur.
“Hei, konco! Yuk, berangkat!”
seru Dimas yang sudah berada di depan halaman rumah.
Embun menetes dari dedaunan,
tanah masih basah sisa hujan tadi malam. Hari sudah terang, sinar surya menyapu
perkampungan. Dua bocah itu bersisian di atas sepedanya masing-masing, menyayuh
sepedanya penuh semangat menjemput hari yang cerah untuk masa depan.
***
“Tulis soalnya, ya?” kata Ibu
Yanu, “kelereng Budi sebanyak 28 buah… dipinjam Anto sebanyak 22 buah…
sedangkan Ayah Budi akan membelikannya lagi sebanyak 32 buah… berapa
keseluruhan kelereng Budi jika dikumpulkan?”
“Ayahnya Budi berapa buah
membelikan klereng untuk Budi?” tanya Pujang menyikut lengan Dimas.
“32 buah, Jang,” jawab Dimas
tanpa menoleh.
“Ingat, ya, anak-anak!” Ibu Yanu
kembali mengingatkan murid-muridnya, “angka satuan yang kurang dari 5
dibulatkan ke bawah, angka satuan lebih dari 5 atau sama dibulatkan ke atas.”
“Iya, Bu!” sahut murid di kelas
serempak.
“Bagus, satu soal itu dulu
dikerjakan. Nanti kalau sudah paham semua, kita lanjutkan ke soal berikutnya,”
guru cantik berjilbab itu melirik Pujang, “nah, kamu Pujang jangan menyontek ke
Dimas! Dan Dimas jangan biasakan memberikan jawaban ke Pujang! Kali ini tidak
ada maaf bagi yang melanggar, ibu hukum berdiri di depan kelas. Mengerti
kalian?”
“Mengerti, Bu!” jawab Pujang dan
Dimas.
“Sekarang kerjakan soal kalian!
Awas kedapatan menyontek!” suara Ibu Yanu terdengar galak. Ia mondar-mandir
melihat satu persatu murid yang mengerjakan soal.
Waktu yang ditentukan Ibu Yanu
sudah habis. Ia menyapu pandangannya ke semua murid.
“Sudah 15 menit anak-anak,
saatnya kumpulkan jawaban kalian. Siap tidak siap, kumpul!” tegas terdengar
suara Ibu Yanu, “ayo cepat!” Ibu Yanu menghentak meja.
Semua murid mengumpulkan
bukunya. Dan Ibu Yanu langsung menghitung jumlah buku di atas meja, lalu ia
cocokkan dengan jumlah murid di dalam kelas.
“Ayo ngaku! Siapa yang belum
mengantarkan tugasnya?” ancam Ibu Yanu.
Hening… tidak ada yang menjawab.
Para murid saling bertatapan, kecuali satu murid yang menundukkan wajahnya ke
lantai.
“Pujang mungkin, Bu,” celetuk
Diajeng.
Yang disebut namanya hanya diam,
tidak menoleh, pura-pura tidak mendengar.
“Ibu tidak akan memanggil nama
kalian. Siapa yang merasa belum mengerjakan tugasnya, maju ke depan!” pelan
suara Ibu Yanu terdengar namun begitu tajam.
Dan Pujang yang merasa, ia
berdiri sambil membawa bukunya menghadap Ibu Yanu. Anak-anak lainya menyeru.
“Cukup-cukup!” Ibu Yanu memukul
meja. Ditatapnya lekat-lekat wajah Pujang yang bulat, “mana tugas kamu?”
Pujang menyerahkan tugasnya.
Wajahnya pucat, peluh di dahinya mengkilat.
“Ini sebagian sudah benar,
Pujang. 28 dibulatkan menjadi 30, 22 dibulatkan menjadi 20, dan 32 dibulatkan
menjadi berapa, Pujang?” tanya Ibu Yanu. Ucapnya kemudian, “kalau kamu sudah
tahu berapa 32 dibulatkan, maka kamu tinggal menjumlahkan saja semuanya.”
Pujang tak juga bisa menjawab.
Peluh semakin membanjiri wajahnya.
“Pahami lagi ketentuan soalnya,
Pujang. Setiap angka satuan yang kurang dari 5 dibulatkan ke bawah. Misalnya
seperti angka 22, dibulatkan menjadi 20. Angka 32 kalau dibulatkan juga begitu.
Kalau kamu tahu jawaban pembulatan angka 22, harusnya kamu juga bisa pembulatan
angka 32. Coba 32 dibulatkan menjadi berapa? Sama dengan yang 22 tadi,” terang
Ibu Yanu.
“32 dibulatkan menjadi 30, Bu,”
jawab Pujang takut-takut.
“Nah, kan kamu tahu jawabannya.
Jadi kalau 39 dibulatkan menjadi berapa?” tanya Ibu Yanu lagi.
“40, Bu,” jawab Pujang mulai
percaya diri.
Ibu Yanu mengangguk,
“Bagus-bagus, berarti kamu sudah paham. Jadi kalau 35 dibulatkan menjadi
berapa? Ingat, Pujang! Angka satuan yang lebih dari 5 atau sama dibulatkan ke
atas.”
“40, Bu,” jawab Pujang mantap.
“Pintar anak ibu. Anak-anak ibu
tidak ada yang bodoh, semua pintar dan cerdas, hanya saja ada beberapa yang
pemalas. Nah, pemalas inilah yang kelihatan seperti bodoh. Padahal tidak!” ujar
Ibu Yanu ke semua muridnya, lalu menunjuk Pujang, “sekarang jawab pertanyaan
tadi di papan tulis!” perintah Ibu Yanu.
Pujang yang sudah menguasai soal
pembulatan dengan enteng menjawab soal tadi di papan tulis. Setelah
menjumlahkan dengan betul, ia tersenyum bangga ke arah teman-temannya. Lonceng
berbunyi, jam tanda istirahat.
“Waktunya istirahat, soal ini
akan ibu periksa. Usai istirahat akan ibu kembalikan lagi pada kalian,” ucap
Ibu Yanu.
***
Langit biru bersih tanpa
tersaput awan, matahari begitu garang di atas kepala. Dedauan di pohon yang
rindang bergesekan menyuarakan alam yang syahdu. Murid-murid di Sekolah Dasar
itu riang sorak-sorai keluar dari pagar sekolah. Ada yang dijemput orangtuanya,
ada pula yang pulang dengan berjalan kaki. Sedangkan Dimas dan Pujang, serta
teman-teman akrabnya yang lain sudah mengebut dengan sepedanya.
Kepala Sekolah dan wakilnya
masih di ruangannya, para guru sudah siap-siap beranjak dari mejanya
masing-masing. Sebelum pulang Ibu Yanu menyusun rapi mejanya, buku-buku murid
ia tata rapi di atas meja. Ibu Ani mendekati sahabat karibnya itu, menanyakan
tanggapan dari surat yang ia sampaikan kemarin.
“Iya, sudah dibaca,” jawab Ibu
Yanu singkat.
“Terus bagaimana?” tanya Ibu Ani
tak sabaran, “oh iya, Mas Sudibyo juga ingin minta nomor hape Ibu Yanu. Kasi
nggak?”
“Ibu Ani kan juga tahu, saya
tidak suka hape berdering,” suara Ibu Yanu begitu datar.
Ibu Ani menelan ludah. Tahu jika
jawaban itu artinya tidak setuju. Namun Ibu Ani terus mencecar pertanyaan.
“Kalau Mas Sudibyo datang ke
rumah Ibu boleh?”
“Sedang banyak urusan, lagi
fokus selesaikan novel,” kata Ibu Yanu mengalihkan percakapan, “kalau Ibu Ani
nggak keberatan, kita ke kota, temani saya ke kantor redaksi.”
“Baiklah, dengan senang hati,”
sahut Ibu Ani melupakan pertanyaannya.
Mereka berboncengan ke Kota
Kabupaten. Satu jam dari sekolah mereka menuju ke kantor redaksi. Pemimpin
redaksi itu begitu senang menyambut Ibu Yanu dan Ibu Ani. Sudah bertahun-tahun
mereka akrab, sejak di bangku kuliah Ibu Yanu. Dan dua tahun yang lalu, media itu
sudah mendirikan kantor cabang di Wonosari.
“Silahkan diterima, Yanu, honor
kemarin,” pimpinan redaksi menyodorkan amplop di atas meja, “dan artikel yang
baru kami terima, besok naik cetak.”
“Terimakasih, Pak,” Ibu Yanu
menerima amplop berwarna putih itu dan memasukkannya ke dalam tas.
“Oh ya, ngomong-ngomong kapan
selesai novel kamu yang kedua, Yan?” tanya pimpinan redaksi.
“Secepatnya, Pak, mungkin
sekitar 3 bulan lagi.”
Pria berkepala setengah pelontos
tersebut mengangguk takzim. Sekitar setengah jam Ibu Yanu dan Ibu Ani di sana,
setelah itu undur diri. Keluar dari kantor, dua sahabat itu menuju warung bakso
langganan mereka.
“Mas Sudibyo itu baik lho, Bu,”
Ibu Ani memulai comblangnya, “Mas Arif juga bilang kalau memang Ibu Yanu mau,
kalian berdua itu sangat cocok.”
Tanpa melihat wajah Ibu Ani, Ibu
Yanu memotong bakso di dalam mangkuk dengan sendoknya. Beberapa detik kemudian
baru berbicara, “Ya, laki-laki itu memang itu harus baik. Kalau tidak baik,
bagaimana mau jadi seorang suami.”
“Ibu Yanu nggak tertarik sama
Mas Sudibyo?”
Ibu Yanu menghela napas panjang,
lalu menggeleng pelan.
“Baiklah, saya juga tidak ingin
memaksa. Hanya saja sampai kapan begini terus?” nada Ibu Ani ditekan begitu
dalam.
“Sampai hati saya bisa dibuka.
Dibuka oleh lelaki yang mampu membukanya,” jawab Ibu Yanu dengan nada geram.
0 Comments:
Posting Komentar