
Proses belajar yang benar sejatinya memerhatikan tahap perkembangan anak. Piaget membagi perkembangan anak menjadi empat tahap: Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun), periode praoperasional (usia 2–7 tahun), periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun), dan periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa).
Dalam pembelajaran matematika yang umum terjadi adalah anak tidak mendapat kesempatan belajar secara konkrit. Yang dimaksud dengan pembelajaran konkrit adalah anak menggunakan benda-benda konkrit, yang bisa dimanipulasi dengan tangan, dipegang, dilihat, dirasakan, untuk memahami konsep banyak atau sedikit. Anak, biasanya, langsung dikenalkan dengan angka. Mulai angka 1,2,3, satuan, puluhan, ratusan, bahkan ribuan. Angka adalah simbol dan sifatnya abstrak. Untuk memahami angka, anak terlebih dahulu perlu mengkonstruksi pemahaman menggunakan benda konkrit. Cara ini yang dulu digunakan para orangtua mengajar anak-anak mengenal jumlah dan angka. Namun sayangnya cara ini, saat ini, sudah jarang digunakan. Anak langsung diajari angka, tanpa melewati proses belajar konkrit.
Untuk bisa membuat anak jago matematika biasanya orangtua akan mengirim anak ke kursus matematika. Dari pengamatan saya, banyak kursus yang hanya menerapkan prinsip drilling, anak diberi tugas yang (sangat) banyak dengan prinsip pengulangan agar bisa menghitung cepat.Namun bila anak diberi soal cerita dan perlu mengerti maksud cerita untuk bisa melakukan kalkulasi matematis biasanya anak mengalami kesulitan. Anak juga biasanya tidak bisa merasakan berapa banyak selisih antara satu dan sepuluh, atau sepuluh dan dua puluh. Benar mereka tahu bahwa sepuluh lebih besar dari satu. Namun berapa bedanya, selisihnya, banyaknya, mereka tidak bisa merasakannya. Ini semua karena konstruksi pemahaman anak tidak berdasar proses belajar konkrit.
Kendala lain muncul saat anak yang belum fasih penjumlahan tiba-tiba diajari tabel perkalian. Ini juga satu kesalahan fatal. Perkalian adalah bentuk lain dari penjumlahan berulang. Lemah di penjumlahan membuat anak sulit menguasai perkalian.Belum lagi bila orangtua menuntut anaknya pintar matematika seperti anak temannya, atau menguasai materi yang sebenarnya belum waktunya dipelajari dan dikuasai si anak.
Kendala beruntun ini akhirnya membuat anak merasa matematika sulit, tidak menyenangkan, menakutkan, dan perlu dihindari sebisa mungkin. Dan ini akan terus terbawa hingga dewasa. Orangtua, tanpa tahu duduk masalah yang sebenarnya, berusaha membantu anak mengatasi masalah dengan meminta atau mengharuskan anak belajar lebih keras, lebih lama, les matematika dengan guru berbeda. Ada juga orangtua yang menggunakan cara yang keras dalam upaya membuat anaknya pintar matematika, misalnya memarahi, mengancam, atau menghukum. Anak bukannya menjadi lebih berkembang justru menjadi semakin trauma dan tidak suka matematika. Anak menghubungkan belajar matematika atau matematika itu sendiri dengan penderitaan (pain), rasa sakit, tidak nyaman.
Faktor lain yang membuat anak tidak suka matematika adalah karena cara mengajar guru yang kurang menghargai keunikan dan kecepatan belajar anak. Ada guru yang menuntut anak menguasai bahan ajar dengan cepat. Bila anak agak lambat biasanya guru akan menegur atau memberi label anak bodoh. Ada juga guru yang karena sikapnya, disengaja atau tidak, membuat anak malu, di dalam kelas, karena tidak bisa mengerjakan soal. Semua ini memberi kontribusi pada ketidaknyamanan anak terhadap pelajaran matematika.
Solusi untuk masalah ini adalah pertama, emosi negatif yang berhubungan dengan matematika harus dihilangkan total. Kedua, kecakapan dasar matematika seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian perlu diperkuat. Bila perlu, anak tinggal kelas untuk mendapat kesempatan memperbaiki fondasi matematikanya. Dan ketiga, yang juga sangat penting adalah pendampingan, dukungan, kasih sayang dari orangtua pada anak.
0 Comments:
Posting Komentar